Kamis, 15 Desember 2011

UNSUR BUDAYA JAWA DALAM NOVEL
IBU SINDER KARYA PANDIR KELANA:
ANALISIS SOSIOLOGI SASTRA 


1.      Latar Belakang
Pada awalnya kelahirannya, novel Indonesia ditandai dengan adanya unsur budaya daerah (Rampan, 1984:4). Disadari atau tidak unsur budaya daerah ini dipengaruhi oleh daerah asal pengarang sendiri. Menonjolnya novel-novel Minangkabau dan Sumatera pada umumnya, berkaitan dengan banyaknya novelis yang berasal dari Sumatera.
Teeuw mengatakan bahwa sastra modern tidak pernah putus hubungannya dengan sastra tradisi. Dari berbagai segi kesinambungan tersebut dipertahankan (1982:12). Dalam perkembangan novel Indonesia mutakhir terdapat sejumlah novel yang mengandung muatan unsur budaya Jawa. Adapun yang dimaksud dengan unsur budaya jawa adalah realitas sosial budaya Jawa yang ditunjuk secara tidak langsung oleh fiksionalitas suatu karya (Mahmud, 1987: 25).
Penelitian terhadap unsur budaya Jawa dalam karya sastra, selain untuk menunjang pemahaman terhadap novel-novel Indonesia secara keseluruhan, juga untuk mengetahui juga untuk mengetahui seberapa jauh nilai-nilai, aspek-aspek atau norma-norma nudaya Jawa berintegrasi dalam kebudayaan Indonesia yang senantiasa berproses ini.

Sastra diciptakan oleh pengarang berdasarkan realita (kenyataan) sosial yang ada di masyarakat. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sastra memang mencerminkan kenyataan, namun sering juga dituntut dari sastra agar mencerminkan kenyataan (Luxemburg dalam Sangidu, 2004:39). Dengan kata lain, sastra berhubungan dengan usaha manusia untuk menyesuaikan diri dan, bahkan, mengubah masyarakat (Damono, 1984:7).
Peristiwa sosial yang diangkat pengarang ke dalam karyanya dipahami sebagai perpaduan antara kreasi dan mimesis. Peristiwa sosial itu merupakan pengalaman pengarang yang dikreasikan ke dalam bentuk karya sastra. Pengalaman yang dikreasikan pengarang ke dalam karyanya pun dapat berupa pengalaman langsung, dapat pula berupa pengalaman tidak langsung (Mahayana, 2005:54). Hal ini senada dengan pendapat Junus (1986: 3), karya sastra merupakan dokumen sosial yang mencatat kenyataan sosiobudaya suatu masyarakat pada suatu masa tertentu.
Karya sastra merupakan refleksi masyarakat pada zaman karya sastra itu ditulis, yaitu masyarakat yang melingkungi penulis. Hal itu disebabkan,  penulis sebagai anggota masyarakat, tidak dapat lepas dari masyarakatnya. Taine (Pradopo, 2002:22) memperlakukan karya sastra berdasarkan tiga faktor: bangsa (ras), lingkungan masyarakat, dan momen sejarah pengarangnya
Memahami sastra berarti pemahaman terhadap seluruh proses sosial dimana sastra merupakan bagiannya. Fungsi ideologi juga untuk melegitimasi kekuatan kelas penguasa dalam masyarakat (Eagleton, 2002: 6).
Perang Kemerdekaan 1945-1949 banyak diungkap oleh para sastrawan yang sering digolongkan sebagai Angkatan 45. Yang menarik perhatian kita justru sejumlah novel yang menggambarkan kiprah para pejuang yang ditulis oleh seseorang yang sebelumnya tak dikenal sebagai sastrawan, apalagi sebagai novelis. Namun, ternyata karya-karyanya mencengangkan, bukan lantaran deskripsinya yang jelas, tetapi pengarang ini menulis sejumlah novel yang satu dengan yang lain saling kait-berkait.
Dia adalah Pandir Kelana, seorang pelaku Perang Kemerdekaan yang meniti karier militernya sampai berpangkat Mayor Jenderal. Nama aslinya RM Slamet Danusudirdjo adalah bekas pejuang yang kemudian menerima pendidikan militer di Eropa Barat, Negeri Belanda dan Belgia, serta di Eropa Timur di Uni Sovyet. Jabatan nonmiliter yang pernah diembannya adalah deputi Ketua BAPPENAS, Dirjen Bea dan Cukai, anggota DPA RI, dan rektor IKJ.
Ia mempunyai kesukaan menulis novel berlatar sejarah. Novel-novelnya, antara lain Kereta Api Terakhir (1981), Kadarwati: Wanita dengan Lima Nama (1982), Ibu Sinder (1983), Rintihan Burung Kedasih (1984), Suro Buldog: Orang Buangan Tanah Merah Boven Digul (1986)
Tema Perang Kemerdekaan menjadi salah satu ciri khas novelis gaek Pandir Kelana ini. Ciri yang kedua adalah novel-novelnya saling terkait satu sama lain. Dalam novel Rintihan Burung Kedasih, Pandir Kelana menyertakan pula peta, seperti Peta Karesidenan Pati dan sekitarnya lengkap dengan gambaran mengenai Garis Demarkasi, Serangan Belanda, Kantong Gerilya, Jalur Komunikasi Gerilya, Serangan Balas TNI ke Semarang, dan Kedudukan Belanda. Peta ini disertakan dalam novel sehingga pembaca mendapat gambaran yang lebih jelas mengenai gerakan para pelaku dalam novel itu bilamana novelis menyebut nama suatu tempat.
Hiruk pikuk mengadopsi tradisi naratif Barat ini pudar pada tahun 1970-an. Teeuw (1988) melihat adanya fenomena baru dalam perkembangan novel Indonesia, yakni lahirnya novel-novel bertendensi kejawaan. Tendensi kejawaan itu tampak pada novel-nobel NH Dini yang mengungkapkan norma-norma dan gagasan budaya Jawa yang halus, sopan, lembut. Menurut Teeuw, novel-novel yang mengungkapkan kerangka pikir Jawa dan diresapi nilai-nilai Jawa masih terbit pada tahun 1980-an, di antaranya tampak pada novel Burung-burung Manyar (1981)), Pengakuan Pariyem (1981), Ronggeng Dukuh Paruk (1982), Ibu Sinder (1983), Lintang Kemukus Dini Hari (1985), Jantera Bianglala (1986).
Dalam tulisannya yang bertajuk Javanistic Tendencies in Recent Indonesian Literature itu, Teeuw mencatat beberapa ciri yang spesifik dan menonjol sebagai berikut. (1) Novel-novel tersebut menggunakan latar cerita Jawa. (2) Adanya falsafah Jawa bahwa kehidupan merupakan sebuah pakem, manusia memainkan peranan seperti tokoh wayang kulit, hidup harus nrima ing pandum . (3) Koherensi sosial sangat kuat pada kehidupan orang-orang di sebuah desa kecil. Ada kesadaran psikologis pada tokoh protagonis wanita, bahwa menjadi isteri seorang laki-laki adalah mulia (4) Novel mengungkapkan visi budaya masyarakat tentang nilai dan norma dalam dunia modern. Ada kebenaran historis dan sosiologis tentang hubungan antara laki-laki dan perempuan. (5) Novel mengungkapkan hubungan antara laki-laki dan perempuan sebagai suatu keseimbangan dan harmoni, antara keinginan individual dan kewajiban sosial.
Terinspirasi oleh novel-novel yang menunjukkan gejala kecenderungan kejawaan terutama karakter wanita Jawa dengan sejumlah ciri spesifik dan tipikal sebagaimana dikemukakan Teeuw, makalah ini mencoba memahami salah satu novel  yang merefleksikan nilai-nilai kearifan lokal Jawa yaitu Ibu Sinder (SIN) karya Pandir Kelana. Itulah sebabnya, untuk sementara SIN disebut novel kearifan lokal.
             Masalah
Muatan yang terkandung dalam SIN adalah munculnya unsur budaya Jawa.   Masalah utama yang telah dirumuskan di atas dirinci dalam beberapa permasalahan sebagai berikut.
  1. Unsur budaya apa saja yang termuat dan bagaimanakah penggambarannya. dalam novel SIN.
  2. Prospek Unsur Budaya Jawa dalam Studi Interkulturalisme.

             Landasan Teori
Penggunaan teori disesuaikan dengan masalah yang dipecahkan dan tujuan yang hendak dicapai. Chamamah-Soeratno (2002:13-14) menyatakan bahwa dalam penelitian sastra, pemilihan macam teori diarahkan oleh masalah yang akan dijawab oleh penelitian dan tujuan yang akan dicapai oleh penelitian. Oleh karena masalah dalam penelitian ini berkaitan dengan fenomena sosial dalam novel SIN,  teori yang digunakan adalah teori sosiologi sastra.


1.2.1.      Pengertian Karakter Wanita Jawa
Watak atau karakter wanita Jawa bukan menunjukkan diri wanita Jawa itu sendiri, melainkan memiliki kesamaan dengan kepribadian (Suharyati dan Suyata, 1986: 3).
Dalam KBBI dinyatakan bahwa kepribadian memiliki makna sifat hakiki yang tercermin pada sikap seseorang atau suatu bangsa yang membedakan dirinya dari orang lain atau bangsa lain (Ali, 1991:778).
Yang dimaksud wanita Jawa adalah wanita etnik yang menggunakan bahasa Jawa serta berakar budaya dan cara berpikir Jawa. Khusus karakter dan sikap wanita Jawa, antara lain, dapat digali melalui konsep pendidikan dari naskah-naskah Jawa, seperti dalam wayang.
1.2.2.      Kearifan Lokal
Menurut John Haba (dalam Abdullah, 2008:7-8) kearifan lokal merupakan bagian dari konstruksi budaya. Kearifan lokal mengacu pada berbagai kekayaan budaya yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, dan merupakan elemen penting untuk memperkuat kohesi sosial di antara warga masyarakat.
Secara umum, kearifan lokal memiliki ciri dan fungsi sebagai berikut ini.
(1) Sebagai penanda identitas sebuah komunitas. (2) Sebagai elemen perekat kohesisosial. (3) Sebagai unsur budaya yang tumbuh dari bawah, eksis dan berkembang dalam masyarakat; bukan unsur budaya yang dipaksakan dari atas. (4) Berfungsi memberikan warna kebersamaan bagi sebuah komunitas. (5) Dapat mengubah pola pikir dan hubungan timbal balik individu dan kelompok dengan meletakkannya di atas common ground. (6) Mampu mendorong terbangunnya kebersamaan, apresiasi dan mekanisme bersama untuk mempertahankan diri dari kemungkinan terjadinya gangguan atau pengrusakan solidaritas kelompok sebagai komunitas yang utuh dan terintegrasi.
Dari paparan di atas dapat dipahami, bahwa kearifan lokal adalah seluruh gagasan, nilai, pengetahuan, aktivitas, dan benda-benda budaya yang spesifik dan dibanggakan yang menjadi identitas dan jati diri suatu komunitas atau kelompok etnis tertentu. Novel kearifan lokal adalah novel yang merefleksikan dan atau merepresentasikan kearifan lokal suatu komunitas atau kelompok etnis tertentu.

1.2.3.      Teori Sosiologi Sastra
Teori yang dipakai dalam penelitian ini adalah teori sosiologi yang kemukakan oleh Allan Swingewood yaitu “Sociology is essentialy the scientific, objective study of man in society, the study of social institutions and of social processes,”.
Terdapat tiga perspektif sosiologi sastra yang dapat digunakan untuk melihat fenomena sosial dalam karya sastra. Ketiga perspektif itu adalah 1) “The most popular perspective adopts the documentary aspect of literature, arguing that is provides a mirror to the age, yaitu perspektif yang paling populer mengambil aspek dokumenter sastra yang memberikan perhatian pada cermin zaman, 2) the second approach to a literary sociology moves aways from the emphasis on the work of literature it self to the production side, and especially to the social situation of the writer, yaitu perspektif kedua tentang sosiologi sastra mengambil cara lain dengan memberikan penekanan pada bagian produksi dan lebih khusus pada situasi sosial penulis, 3) a third perspective, one demanding a high level of skills, attempts to trace the ways in which a work of literature is actually received by particular society at a specific historical moment, yaitu perspektif ketiga menuntut suatu keahlian yang lebih tinggi, mencoba melacak bagaimana suatu karya sastra benar-benar diterima oleh masyarakat tertentu dalam momen sejarah tertentu (Swingewood, 1972 : 13-21)

2.      Karakter Wanita Jawa dalam Novel SIN
Sebelum membaca karya sastra, pertama kali yang tampak adalah nama pengarangnya. Di dalam teks novel, pengarang adalah narator, orang yang berkisah. Di dalam novel, pengarang menjadi narator yang mengisahkan cerita dari awal hingga akhir. Posisi narator dalam ceritanya dapat dimana saja. Dalam novel Ibu Sinder (selanjutnya disingkat (SIN), narator berada di luar cerita
Yang menjadi pertanyaan, mengapa narator dalam novel kearifan lokal adalah tokoh? Salah satu jawaban berasal dari ajaran etika Jawa, bahwa orang tidak boleh menggunjingkan orang lain, apalagi membicarakan kejelekan-kejelekannya, itu perbuatan yang sangat tercela.
Dalam novel SIN, pengarang menggambarkan kehidupan dan sikap hidup keluarga priyayi menghadapi perkembangan zaman, dari zaman pendudukan Belanda, zaman pendudukan Jepang, dan zaman kemerdekaan serta detil-detil kehidupan sosial komunitas prostitusi di Yogyakarta dalam perkembangan zaman.
Mengapa dalam novel kearifan lokal, unsur latar (Madugondo) menjadi judul episode I? Pemikiran kearifan lokal Jawa menyatakan, bahwa kehidupan manusia sepenuhnya terletak dan berada di dalam lingkungan. Untuk itu, perlu menjaga keteraturan kehidupan lingkungan.
Dalam novel SIN, latar luar adalah zaman pendudukan Belanda, pendudukan Jepang, zaman kemerdekaan, lingkungan masyarakat pabrik gula Madugondo. Latar dalam adalah situasi dan suasana kehidupan rumah tangga Ibu Sinder.
Episode III novel SIN berjudul Jenar Cebol Kepalang artinya orang Jepang yang kulitnya kuning (jenar), tubuhnya pendek (cebol) yang gagal menjajah (kepalang). Tokoh adalah pelaku yang hidup dan melakukan aktivitas dalam novel. Tokoh dalam novel kearifan lokal dapat diapresiasi berdasarkan watak dan peranannya dalam kehidupan.
Alur cerita merupakan penataan atau jalinan peristiwa-peristiwa yang dilakukan atau dialami tokoh dalam suatu urutan waktu. Kearifan lokal Jawa mengajarkan perjalanan hidup manusia terdiri atas 3 (tiga) masa utama: masa remaja, masa dewasa, dan masa tua.
Novel SIN juga tidak mengenal konflik dalam membangun alurnya. Bagian awal novel SIN mengisahkan masa remaja Ibu Sinder. Bagian tengah mengisahkan kehidupan Ibu Sinder yang menikah dengan sinder Suprapto sehingga mencapai kebahagian penuh. Bagian akhir mengisahkan Ibu Sinder sudah menjadi janda, menjalani nasibnya, hingga dia membuka warung Climen tidak jauh dari Pasanggrahan Ambarukmo Yogyakarta, sementara Suhono (anak tunggalnya) menetap di Belanda dengan Ivonne (isterinya).
Bagian tengah novel SIN tidak diisi dengan rangkaian konflik untuk mencapai klimaks, tetapi berupa kebahagiaan penuh yang dialami Ibu Sinder dalam perjalanan hidupnya bersama suaminya (sinder Suprapto).
             Karakter Wanita Jawa
Dalam kearifan lokal Jawa terdapat pengetahuan tentang karakter orang yang disebut ilmu katuranggan. Kata katuranggan berasal dari kata turangga (kuda) berarti ilmu untuk mengetahui watak kuda. Pengetahuan ini meluas untuk mengetahui watak wanita sehingga ada ilmu katurangganing wanita, dengan mengetahui ciri-ciri seluruh fisiknya: kepala, rambut, dahi, hidung, telinga, mata, caranya berjalan, dan sebagainya. Sekarang, ilmu itu juga berkembang untuk mengetahui watak seseorang. Watak atau karakter seseorang tidak terlepas dari pengaruh unsur jagad gedhe (makrokosmos) terhadap jagad cilik (mikrokosmos) atau unsur alam semesta terhadap unsur tubuh manusia.
Dalam novel SIN, ibu Sinder berwatak lembut, tetapi juga pekerja keras, terutama setelah ditinggal mati sinder Suprapto (suaminya). Kelembutannya pula yang menjadikan dia dapat hidup dan bergaul secara harmonis di kampung Gandekan di tengah-tengah komunitas PSK yang kasar dan tak mengenal kaidah-kaidah etika.
Dalam novel SIN ditemukan adanya konsep-konsep pendidikan wanita yang digali melalui wayang. Hal itu menunjukkan betapa lekatnya budaya pewayangan pada masyarakat Jawa, sehingga begitu berpengaruh dan menjadi rujukan dalam penulisan karya sastra
Beberapa karakter wanita Jawa yang diinspirasi dari budaya wayang adalah sebagai berikut.
Dengan ketekunan yang mengagumkan diejanya berulang-ulang serat Kisah Ramayana dan Mahabarata. Tokoh-tokoh wayang itu hidup dalam angan-angan, tabiat, dan perangainya, kekuatan dan kelemahannya (Kelana, 1983:17)

Kutipan di atas menunjukkan bahwa penokohan dalam novel SIN diinspirasi oleh serat Kisah Ramayana dan Mahabarata. Kisah yang melegenda dan mengilhami masyarakat Jawa. Peristiwa Sinta ingin membuktikan kesuciannya dengan membakar diri sebagai lambang kesetiaaan istri kepada suami. Berbagai cerita wayang dan karakter para tokohnya banyak dijadikan anutan, prinsip hidup, dan pencarian nilai-nilai atau paling tidak mempengaruhi sikap masyarakat penggemar cerita tersebut.
Dalam cerita wayang ada kisah yang mirip. Radeng Arjuna dan Dewi Banowati permaisuri Jokopitono .....Aku menerima apa adanya, sehingga apa pun yang terjadi di sekitarku itu bagiku adalah hal yang lumrah saja. Bibi Dumilah selalu berkata, “Di rumah ia sepenuhnya suamimu, tapi begitu keluar pintu, kau harus bisa mengikhlaskannya. Ajaran Bibi itu kupegang teguh (Kelana, 1983:67)

Kutipan di atas menunjukkan untuk berbakti kepada suami memang harus dilakukan dengan kesabaran dan ketegaran dan siap menerima kenyataaan yang kadang-kadang pahit. Perilaku suami yang diibaratkan seperti dalam kisah Arjuna yang bercinta dengan Banowati, bukan penghalang bagi seorang istri untuk terus berbakti kepada suami.
Terbukti di dunia yang nyata ini ada wanita yang seperti Wara Sembadra, Ibunda. Ia selalu berlaku adil, tidak membeda-bedakan marunya yang satu dengan marunya yang lain. Sebaliknya Bibi-bibimu mencintainya dengan tulus ikhlas (Kelana, 1983:19).

Penggalan di atas menunjukkan bahwa tokoh Sembadra dalam dunia pewayangan merupakan contoh seorang wanita yang berpendidikan kuat, sederhana, dan keibuhan, serta pemaaf kepada madu-madunya. Begitu pula, Ibu Sinder dilukiskan sebagai seorang istri yang tulus dan ihlas menerima kenyataan perilaku Suami yang memiliki selingkuh yaitu Nyonya Fien.
Dalam novel SIN, tokoh Ibu Sinder berperan sebagai pelestari budaya ningrat dalam perubahan zaman: pendudukan Belanda, pendudukan Jepang, kemerdekaan. Kesetiaan Ibu Sinder (yang sudah menjanda) pada suaminya tampak dalam penolakannya terhadap lamaran Darsosugondo seorang duda.
Sambil tersenyum Ibu Sinder berguman, “Wah, aku baru ditontoni. Wanita setua aku ini. Kukira hanya mau pesan kain dan daster.” Sampun dados pengalih ya Dik. Aku tidak bisa memutuskannya sendiri ….
Tak apalah Dik. Suatu kehormatan bagiku. Mas darso memperhatikan diriku. Harap disampaikan. Aku belum bisa memutuskan apa-apa. Purbawasesa ada pada anakku (Kelana, 1983:, 104-105).

Unsur terakhir novel kearifan lokal adalah gagasan, yakni konsepsi, ide, wawasan, pandangan, pemikiran, keyakinan yang tersirat di dalam cerita. Dalam kearifan lokal Jawa dikenal sebutan liding dongeng yakni gagasan, amanat, atau inti sari dongeng. Liding dongeng yang tersirat dalam dongeng disampaikan pengisah pada akhir cerita.
Gagasan yang tersirat dalam novel SIN adalah sikap pasrah pada kehendak nasib dan mampu menghanyutkan diri (ngeli) pada perputaran zaman. Ibu Sinder yang berasal dari keluarga bangsawan mampu bertahan hidup dan mampu menikmati hidup dalam perubahan zaman, meskipun pada awalnya hidup penuh kemewahan sebagai isteri sinder pabrik gula yang sangat dihormati, kemudian harus hidup di tengah-tengah komunitas PSK, dan akhirnya membuka warung makan kecil-kecilan (climen). Apa yang dialami Ibu Sinder persis seperti kiasan, Tunggak jarak mrajak, tunggak jati mati (Tunggul pohon jarak berkembang biak, tunggul pohon jati mati). Ibu Sinder yang keturunan bangsawan (tunggak jati) jatuh status sosialnya menjadi pemilik warung kecil.
             Macam Karakter Wanita Jawa
Karakter wanita dapat dibedakan menjadi dua, yaitu (1) karakter wanita yang masih memegang teguh karya-karya klasik Jawa, dan (2) karakter wanita yang menganut pendidikan modern. Karakter wanita yang menganut ajaran tradisional tercermin dalam sikap dan perilaku wanita yang harus taat, setia, pasrah, sabar, dan menerima keadaan. Sebaliknya, karakter wanita yang menganut pendidikan modern tercermin dalam sikap dan perilaku wanita yang memiliki kebebasan dan mempunyai kesetaraan dengan kaum pria.
Tipe wanita penganut ajaran tradisional, antara lain, tercermin dalam Ibu Sinder. Dalam novel ini, Ibu Sinder berwatak lembut, tetapi juga pekerja keras, terutama setelah ditinggal mati sinder Suprapto (suaminya). Kelembutannya pula yang menjadikan dia dapat hidup dan bergaul secara harmonis di kampung Gandekan di tengah-tengah komunitas PSK yang kasar dan tak mengenal kaidah-kaidah etika.
Tokoh Ibu Sinder berperan sebagai pelestari budaya ningrat dalam perubahan zaman: pendudukan Belanda, pendudukan Jepang, kemerdekaan. Kesetiaan Ibu Sinder (yang sudah menjanda) pada suaminya tampak dalam penolakannya terhadap lamaran Darsosugondo seorang duda.
Sebaliknya, tipe wanita penganut ajaran tradisional tercermin pada tokoh Winarsih adiknya Winarti (Ibu Sinder). Seperti tampak dalam penggalan berikut.
Tabiat dan perangai Winarti dan Winarsih bertolak belakang satu dengan yang lainnya. Winarsih anak yang sulit dikenadlikan. Jiwanya bebas, tidak mau tunduk kepada segala tradisi dan adat yang dirasanya sebagai perintang kebebasannya (Kelana, 1983: 15).

Kutipan di atas menunjukkan adanya dua karakter yang berlaian dalam diri wanita Jawa. Karakter yang tercermin dalam diri Winarsih adalah karakter perempuan modern yang menginginkan persamaan hak dengn pria. Hak untuk menentukan nasib sendiri dan hak memperoleh pendidikan.
             Pilihan Estetika Novel SIN
Unsur yang muncul pada saat membaca novel SIN adalah bahasa. Pengetahuan kesastraan kearifan lokal Jawa dalam karya sastra, perlu dipahami adanya dua jenis bahasa, bahasa keseharian (basa lumrah) dan bahasa seni (basa endah) (Padmosoekotjo, 1958: 15).
Bahasa keseharian adalah bahasa yang hidup, realistis, kontekstual, langsung. Bahasa seni adalah bahasa yang diperindah dan diolah dengan memperhatikan kaidah-kaidah seni bahasa, dalam menggunakan kosa kata, menyusun kalimat, maupun makna konotatif atau simbolik yang dihasilkannya sehingga mengesankan.
Dalam novel SIN terdapat estetika, yaitu bahasa keseharian yang tampak dalam dialog yang realistis dan hidup dalam masyarakat, penggunaan ekspresi dan ungkapan yang spesifik dan kontekstual sesuai dengan latar belakang komunitas atau kelompok masyarakat.
Maaf Ngger, aku pernah menanyakan tentang bakal perjalanan hidupmu di kelak kemudian hari kepada seorang tua. Kehidupanmu akan penuh suka, tapi juga tidak luput dari duka (Kelana, 1983: 27).

Penggunaan diksi bahasa Jawa yang begitu menyentuh menjadi bagian yang menarik dalam novel ini. Estetika yang dimunculkan adalah perpaduan antara karakter tokoh yang dilukiskan melalui dialog antartokoh. Dalam penulisan surat oleh Mirah terdapat diksi Jawa yang sangat halus, seperti katur Ibu Sinder, Putra tresna, kersa nglenggahi. Bahkan, tokoh Fien yang berkebangsaan Belanda, begitu mahirnya menggunakan bahasa jawa.
Fien berkata dalam bahasa Jawa halus, “ Nyuwun pangapunten inggih Mbakyu, sampun radi nguwatosaken. Monggo kulo ngrumiyini.” (Kelana, 1983:61).

Estetika yang tampak adalah penggunaan bahasa Jawa halus. Dalam bahasa Jawa dikenal tatakrama dan unggah-ungguh sebagai sarat budi pekerti. Orang Jawa dikatakan berbudi pekerti luhur, bila mampu menerapkan tatakrama dan ungah-ungguh secara baik dan benar. Jika penerapan tata karma dan ungggah-ungguh kurang tepat, bisa saja dikatakan wong Jawa wis ora njawani atau ilang Jawane, artinya orang Jawa tersebut sudah tidak lagi berjiwa Jawa (Endraswara, 2003: 12).

3.      Penutup
Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpukan sebagai berikut.
Pertama,  karakter wanita Jawa tergambar dalam pribadi yang sabar, menerima kenyaataan hidup, ikhlas menghadapi cobaan yang berat, mempertahankan keutuhan rumah rangga serta berbakti kepada suaminya.
Kedua, macam karakter wanita Jawa meliputi wanita Jawa yang menganut ajaran tradisional tercermin pada tokoh Ibu Sinder, yaitu sikap dan perilaku wanita yang harus taat, setia, pasrah, sabar, dan menerima keadaan. Sebaliknya, karakter wanita yang menganut pendidikan modern tercermin dalam sikap dan perilaku Winarsih, yaitu adik Winarti (Ibu Sinder), wanita yang memiliki kebebasan dan ingin mendapatkann kesetaraan dengan kaum pria, baik dalam pendidikan maupun dalam menentukan jodoh.
Ketiga, pilihan estetika yang muncul adalah penggunaan bahasa daerah yaitu bahasa Jawa melalui ucapan tokoh atau dialog antartokoh yang begitu menarik dank has kejawaan, sehingga karakter Jawanya tampak sekal
DAFTAR PUSTAKA


Abdullah, Irwan [eds]. 2008. Agama dan Kearifan Lokal dalam Tantangan Global.
         Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ali, Lukman [ed]. 1967. Bahasa dan Kesusasteraan Indonesia sebagai Cermin
        Manusia Indonesia Baru. Jakrata: Gunung Agung

Chamamah, Siti. 2002. ”Penelitian Sastra: Tinjauan tentang Teori dan Metode
       Sebuah Penagntar” dalam Jabrohim (Ed.) Metodologi Penelitian Sastra.
       Yogyakarta: Hanidita Graha Widya.

Damono, Sapardi Djoko. 1984. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Eagleton, Terry. 2002. Marxisme dan Kritik Sastra. Diterjemahkan Roza Muliati 
        dkk.Yogyakarta: penerbit Sumbu.

Endraswara, Suwardi. 2003. Budi Pekerti dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: PT
       Hanindita Graha Widya.

Junus, Umar. 1983. Sosiologi Sastera persoalan Teori dan Metode. Kuala
      Lumpur: Dewan bahasa dan Pustaka.

Kelana, Pandir. 1983. Ibu Sinder. Yogyakarta. PT Sinar Agape Press.

Mahayana, Maman S.. 2005. Sembilan Jawaban Sastra Indonesia; Sebuah
        Orientasi Kritik. Jakarta: Bening.

Pradopo, Rachmat Djoko. 2002. Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: Gama
         Media.

Rahayu, Prapti, dkk. 2003. Wanita dalam Sastra Jawa. Jakarta. Pusat Bahasa.

Sangidu. 2004. Penelitian Sastra: pendekatan, Teori, Metode, Teknik dan Kiat.
         Yogyakarta: FIB.

Teeuw, A. 1988. Javanistic Tendencies in Recent Indonesian Literature dalam
       TENGGARA nomor 21/22. Kuala Lumpur.